Fam Trip Ke Daik Lingga

22.12

Fam Trip Ke Daik Lingga


Daik Lingga
Jeti sederhana di Daik Lingga

Fam Trip Ke Daik Lingga dilakukan bersama semua peserta Tour Sepeda dan Team Media Asing, dilakukan di hari ke 3. Ya !!! Di tulisan sebelumnya Fam-trip-media-asing-di-dabo-singkep-lingga, maka ditulisan kali ini saya menceritakan tentang Fam Trip ke Daik Lingga. Antara Dabo Singkep dan Daik adalah 2 pulau yang tak begitu jauh. Daik adalah ibu kota dari Lingga, namun yang ramai penduduknya dan maju justru di Dabo Singkep

Pagi hari setelah sarapan pagi dengan nasi uduk (nasi lemak orang Malaysia bilang) dengan sambal bilis dan kacang serta telur dadar yang nikmat rasanya. Selama makan di Dabo Singkep, masakan yang disajikan terasa enak dan lezat. Bumbu dari masakan sangat berasa dan enak di mulut. Setelah sehari sesudahnya, kita sarapan dengan hidangan lontong, mie goreng, dan sayur lodeh serta sambal ikan tamban. Menurut karyawan hotel, ikan tamban ini ciri khas dari Dabo Singkep. "Oleh-oleh dari sini yang best ya ikan tamban ini," jelasnya.

Sepertinya orang di Dabo Singkep pinter masak semua. Apa pun hidangannya enak aja di mulut dan terasa nikmatnya. Rahasia masakan enak katanya sih ada di bumbu, dan bumbunya itu sangat berasa, sehingga makanan yang tersaji bukan enak karena banyak meicin, tapi perpaduan bumbu dan rasa seperti garam gula dan meicin itu sendiri pas di lidah. Wah koq jadi ngomongin makanan ya.

Fam Trip ke Daik Lingga, membuat saya penasaran dengan keindahan gunung yang sangat terkenal dengan sebutan gunung bercabang tiga. Setelah rombongan berada di pelabuhan jagoh Dabo Singkep, berangkat menggunakan speedboard. Ada dua speedboard yang di sediakan, besar dan kecil. Jadi nggak bisa berangkat berjamaah semua seperti menggunakan ferry.

Pelabuhan di Dabo Singkep


Gunung Daik yang malu-malu

Dari pelabuhan jagoh, Gunung Daik memperlihatkan kegagahannya. Walau malu-malu menyambut kedatangan kami yang hendak melihat kegagahan dan cabang tiganya lebih dekat lagi. Kabut yang menutupi sebagian cabangnya membuat saya penasaran dengan cabang yang terlihat, sambil bertanya dalam hati "mana sich cabang tiganya,"

Di perjalan speedboard yang saya tumpangi tak henti saya terus merekam Gunung Yang konon sangat terkenal di Singapore dan Malaysia. Bukan hanya saya yang demikian, sebagian peserta pun ingin mengabadikan moment bersama pemandangan Gunung Daik itu.

Ikut mengabadikan moment Gunung Daik diperjalan speedboard


Hanya sekitar 30 menit kami sampai di pelabuhan jeti yang sederhana di Daik Lingga. Dengan lantai kayu tanpa cat tampak sudah usang. Berphoto bersama setelah semua berkumpul, peserta tour sepeda dan Team Media Asing kami pun lanjut dengan mini van menuju ke kaki Gunung Daik. Rasa penasaran dan senang bisa berada di Daik Lingga dengan kegagahan Gunung Daik yang selama ini hanya bisa didengar melalui cerita dan bacaan. 

Pantun Gunung Daik Bercabang tiga membuat orang-orang dari Malaysia sangat mengenal Gunung Daik. Pantun yang telah berusia puluhan tahun silam itu, seperti turun temurun dipelajari hingga ke anak cucu di Malaysia dan Singapore. Bagaimana di Indonesia ??? Di Indonesia sendiri hanya sebagian masyarakat melayu saja yang mengenal pantun tersebut. Baca ceritanya di Festival-gunung-daik-2017

Jajaran gunung-gunung yang kokoh di kaki Gunung

Benar-benar menutup diri si cabang tiga

Kagum dan bangga bisa melihat lebih dekat Gunung Daik itu. Setibanya kami semua di sebuah museum, sebagian berhamburan mengabadikan Kegagahan dari Gunung Daik. Meski tertutup kabut yang sejak tadi menyelimuti, tak membuat Team Media dan peserta tour sepeda yang dari Singapore Malaysia membidikkan kamera ke arah Gunung yang sudah kesohor namanya.

Museum yang banyak menyimpan sisa barang-barang  kerajaan Damnah


Photo bersama Team Media


Museum penyimpanan benda-benda bekas kerajaan Damnah, pernak pernik berbagai hal yang berhubungan dengan kerajaan kala itu. Mulai dari bejana bekas tempat makan dan minum di rumah raja, pecahan kramik pada zaman itu. Sampai Al qur'an yang pernah di tulis pada zamannya dan sudah berusia ratusan tahun. Baju sultan dan pakaian wanita, pakaian biasa dan pakaian pesta kala.

Tapi dari semua yang dipajang, hanya satu yang membuat saya tertarik ingin memotret. Sebuah kaca panjang yang di dalamnya ada susunan tulang-tulang. Menurut guide, bahwa itu kerangka binatang purba, yang ditemukan ketika tsunami meluluh lantakan Aceh. Laut yang bergejolak memuntahkan bangkai ikan yang spesisnya sudah tidak ditemukan lagi. Telah lama mati namun dagingnya konon tidak membusuk layaknya hewan yang sudah mati.




Setelah hampir tengah hari, instruksi lanjut berjalan menuju Lubuk Papan. Kita berjalan sejauh 200 meter dari musem, olah raga semuanya. Ternyata tidak ada bus yang dapat mengantarkan kami menuju lubuk Papan. Sebelum sampai di Lubuk Papan, kami melewati cagar budaya bekas Kerajaan Damnah. Ya!!! Bekas bangunan kerajaan itu hanya tinggal puing. Panjang kebelakang masih ada lagi bangunan, namun kaki sudah tak sanggup lagi menuju kesana.






Makan siang sudah terhidang di lubuk Papan, beserta hiburan musik dan penyayinya. Lubuk Papan ini dibangun dan dibentuk oval dengan hiasan bunga dan gazebo. Air yang bermuara di sana adalah air sungai yang jernih dan bening. Team Media Asing senang sekali berada di sana. Langsung menuju bebatuan dimana air mengalir dan sebagian sudah pada mandi dan berbasah-basahan.






Makan siang tiba mengantri di 2 tempat yang tersedia. Lelah dan haus membuat banyak yang menyerbu air kepala muda yang tersedia dengan 2 varian rasa, original dan sedikit warna merah namun agak asam. Hidangan makan siang ikan bakar, ayam goreng bumbu, sambal, sayur sup dan kerupuk ikan, yang semuanya enak di lidah. Lagi-lagi rasa enak dan nikmat berasa, jadi pengen ke Lingga lagi !!!


Acara bebas setelah makan siang sambil menikmati lagu-lagu yang di bawakan oleh biduan, juga keseruan peserta sepeda yang ikut bernyayi dan menari di panggung yang tersedia. Keceriaan mereka membuat suasana gegap gempita. Satu dan lain saling canda tawa dan semangat dengan keadaan di Daik yang jauh dari kata megah dan mewah. 

Menurut kak Fauziah dari Singapore, mereka sudah lama dan sering tour sepeda di Dabo Singkep dan Daik. Mereka sangat suka dengan jalur di sana. Adalah Polwan asal Dabo Singkep yang mengenalkan mereka dan mengundang komunitas sepede antar negara ini ke Dabo Singkep. Dia adalah Maya, begitu biasa di panggil. Mereka bertemu ketika sedang melakukan aksi sepeda antar bangsa dari Singapore ke Malaysia dan Thailand. Maya yang juga hobby bersepeda ingin mengundang mereka ke Lingga, dan di waktu yang tepat undangan itu pun disambut gembira oleh peserta komunitas sepeda itu (lupa nama komunitas sepeda itu).


Maya sang Polwan



Menjelang sore kami kembali berjalan menuju bazar di wilayah kantor Bupati. Karena ini dalam rangka Festival Gunung Daik, bus dan mobil di sana sangat terbatas, mengingat pungsi juga mungkin tidak begitu dibutuhkan. Bus besar hanya ada satu, yaitu bus angkatan darat. Alhasil bus satu itu dan mobil kecil bermuatan 5-6 orang hilir mudik menjemput 150 an tamu. Mini van yang ada juga sedang mengantar tamu lain, yakni peserta pendaki gunung dan peserta Tamandu kembali ke pelabuhan.

Sebenarnya setelah di bazar kita akan ke Air Terjun Resun. Air Terjun kebanggaan Daik yang cantik dan elok. Bus yang akan mengantarkan kami tidak ada. Pada hal Fam Trip Media ini menjadi ajang untuk mempromosikan pariwisata di Daik. Tulisan dan berita yang mereka kabarkan akan mengundang orang untuk datang berkunjung.



Di saat semua tamu akan pulang kembali ke Dabo Singkep, awan yang menyelimuti Gunung Daik perlahan bergerak menjauh. Saya menyempatkan untuk berphoto meski di antara keriuhan orang-orang. Biar nggak dibilang hoax pernah ke Daik Lingga, karena tak ada bukti sebuah photo. Hehehee

Baru terlihat cabang dari si Gunung Daik setelah kita nak pulang






You Might Also Like

1 komentar